Sore ini cuaca tidak menunjukkan rona
yang bersahabat,
aku duduk lelah dekat jendela kamar
kosku dengan wajah amat bosan melihat aktivitas-aktivitas di sekitar.
Tampak hiruk pikuk sekumpulan warga yang
sibuk dengan urusan masing-masing,
seorang ibu paruh baya duduk
bercengkrama dengan cucunya,
ibu muda sibuk mengangkat jemuran tadi
pagi dengan dua bayi kembar di gendongannya,
bapak-bapak bermain catur,
aktivitas-aktivitas yang malah membuat
otakku tak hijau bahkan semakin penat setelah ceramah kuliah dari
Dosen
kesayangan dan berkutat dengan garis sepagian ini.
Aku benar-benar butuh sesuatu yang
membuat kepalaku dingin,
Aarrrrrrrgh….. teriakku dalam hati,
kapan semua ini akan berakhir,
masih ada tiga tahun lagi aku harus
melalui hari-hari penatku, its boring.
Langitpun akhirnya menumpahkan bebannya
ke permukaan,
hujan kali ini benar-benar sangat deras,
gemuruh dan kilatpun tak mau kalah bersahutan.
Aku memeluk kakiku konstan memandang
kegiatan diluar jendela,
aku kedinginan dan kesepian,
mataku menerawang kosong tiba-tiba air
mata jatuh.
Aku menangis.
Puing-puing kenangan masa lalu mampir
dalam pikiranku.
Kenangan memancing bersama ayah dan aku
hanyut ketika aku berumur lima tahun,
kenangan bermain permainan tradisional
dengan teman-teman masa kecilku,
kenangan teraniaya semasa TK, kenangan
tiga tahun di SMP yang mengajari arti teman,
dan yang paling berkesan adalah kejayaan
masa putih abu-abu yang takkan kulupa seumur hidupku.
Guntur keras menyadarkanku dari semua
ingatan-ingatan bintang yang mungkin tak dimiliki oleh orang lain,
dan itu semua, milikku yang amat
berharga.
Kulihat awan masih hitam, air mengguyur
tanah dengan riang, kilat masih berkedip-kedip di langit.
Diseberang jalan gang ini terlihat
sekumpulan anak SMA yang baru pulang sekolah basah kuyup dan
berlindung di
teras rumah depan kosku.
Aku kembali meneteskan air mata
mengingat masa ketika aku masih seperti mereka, tawa tanpa beban anak
putih
abu-abu.
Persis ketika aku berada di posisi
mereka, masa abu-abu penuh kenangan.
Aku masuk di SMA terfavorit di kota
kecilku, Trenggalek, walaupun tidak melalui jalur yang terbaik.
Semua kenangan manis, pahit, asam,
bahkan asinpun terasa selama masa SMA masih lekat di dalam
memory otakku.
Disana pula aku benar-benar belajar memulai masa dewasaku, belajar berbagi,
belajar realita kehidupan, belajar arti teman dan keluarga.
Tawa, tangis, kecewa, sakit, cinta, dan
segala tetekbengek kehidupan remaja bercampur layaknya
gado-gado.
Aku sangat bersyukur Tuhan memberiku
kenangan yang benar-benar tak tergantikan dengan apapun.
Kenangan yang melekat erat dihati bahkan
dalam otak para pelaku dalam semua kenangan tersebut.
Tiga
puluh sembilan anak dari berbagai perbedaan bersolidaritas bersama menyatukan
potongan-potongan perbedaan di dalam satu rasa inilah yang kami sebut
‘WORTNIAS’
to be continued.... :)

Tidak ada komentar:
Posting Komentar