Suatu ketika seorang perempuan datang padaku dan bertanya,
"Cinta itu seperti apa?"
Aku terdiam,
Lalu aku membuka mulutku dan berkata,
"Sesungguhnya, aku belum pernah tahu cinta itu seperti apa.
Tapi seseorang pernah mengajariku bahwa ketika kita mencintai seseorang,
rasa percaya, rasa nyaman, rasa bahagia mereka berpadu.
Walaupun orang yang kita 'cintai' telah pergi, kita tetap merindukan.
Itu cinta menurutku."
Si perempuan tadi kembali bertanya,
"Lalu, jika itu semua yang kau sebutkan kurasakan pada perempuan juga?"
Aku semakin terdiam, tak bisa kujawab.
Perempuan tadi akhirnya bercerita tentang dirinya.
"Menurutku, yang kau sebutkan tadi bukan cinta.
Cinta yang dikoarkan oleh mayoritas adalah "Cinta Lawan Jenis".
Aku terlahir sebagai seseorang yang tidak pernah dianggap perempuan.
Lalu aku sering bertanya pada diriku.
Aku ini berfisik perempuan, tapi mengapa mereka tak pernah menganggapku perempuan?
Aku melakukan pekerjaan laki-laki,
tak diberi keringanan sama sekali.
Sampai aku menyadari kekeliruan dalam jiwaku.
Aku tak tertarik dengan makhluk bernama laki-laki.
Aku selalu sadar akan kesalahanku,
bukan kodrat seorang perempuan untuk mencintai perempuan.
Hingga akhirnya, aku semakin nyaman dengan dunia yang salah.
Kesana kemari mencari cinta yang tadi kau sebutkan.
Pertama, aku hanya mendapatkan nyaman, hingga berlalu lama.
Kedua, aku tak tahu bahwa ada drama juga dalam duniaku.
Ketiga, yang kutahu nafsupun menjadi cinta.
dan yang terakhir, aku bahkan susah menceritakannya kepadamu.
Dia seorang perempuan yang kukagumi.
Dia yang selalu aku tulis.
Dia yang memberikan kenyamanan, nafsu, dan cinta yang kau katakan tadi.
Dia perempuan sempurna yang pernah kutemui.
Tapi sayang, (menghela nafas, diam sejenak).
Kau tahu, aku bukanlah orang yang dia cintai.
Aku bukanlah orang yang selalu dia tulis.
Diery, nama itu yang selalu ada disetiap lembar kertas miliknya.
Nama itu mungkin yang tetap ada dalam benaknya, bukan aku.
Dan suatu ketika aku bertemu dengan orang yang dia tulis.
Kau tahu, rasanya tak beda jauh dengan empedu.
Tapi aku mencoba, meluaskan hatiku untuk tersenyum.
Manusia mana sih yang tidak hancur ketika pasangannya bertemu masa lalunya.
Sakit, perih, sekali lagi demi seseorang yang memberiku cinta, katamu.
Lalu aku berjalan menjalani kembali bersama dia.
Semakin hari cinta, nafsu dan rasa ingin memiliki semakin bertambah.
Aku tak pernah merasakan sesuatu yang lebih menerbangkan daripada Inex.
Aku selalu menyukai ciuman kening paginya.
Aku suka aroma tubuhnya setelah dia mandi.
Dan aku menyukai segalanya.
Bahkan, masa lalunya.
but, nothing last forever.
Suatu ketika kita pernah membicarakan ini sebelumnya,
tentang kembalinya kita ke kodrat masing-masing.
Aku pikir pembicaraan ini akan lama sekali dibahas kembali.
Aku meng'iya'kan janji yang dia ucap.
Setelah bersamanya, aku harus kembali.
Selang beberapa waktu kemudian, sikapnya mulai aneh.
Kau tahu, dia mulai menjauh.
Memang bukan menjauh dari mataku, tapi rasa kita mulai jauh.
Sesak, perlakuannya mulai seakan tak peduli.
Dan ketika kulihat kertas yang biasa dia tulis, kutemukan coretan nama seseorang.
AJI.
Tertulis selembar penuh.
Aku seperti melambung terlalu tinggi, dan terjatuh cukup keras dan tidak mati.
Itu sakit.
Apa yang kusakitkan bukan nama itu, tapi kebisuannya.
Akhirnya aku membuat keputusan terbodoh, dengan meninggalkan dia pergi.
Aku terlalu pengecut untuk bertahan sedikit lagi.
Aku membiarkanmu bersama lelakinya.
Kau tahu, aku seperti Moron yang dengan munafik merelakan orang yang dia sayang bersama orang lain.
Dan aku merasa seperti keledai, yang dia seret sebagai pelarian Diery.
Aku melakukan 3 kebodohan :
Pertama, aku mencintainya itu kebodohan yang aku lakukan.
Kedua, aku meninggalkannya, itu keputusan terbodoh.
Dan ketiga, AKU MASIH MENCINTAINYA.
Setelah waktu berjalan dan aku menemukan banyak sekali pelarian, tak satupun aku suka.
Hingga detik aku bercerita padamu, aku masih berharap ada kesempatan bersamanya.
Ragaku mungkin bersama laki-laki, tapi tidak dengan jiwaku.
LALU, BISAKAH KAU SIMPULKAN KEMBALI APA ITU CINTA??"
Aku hanya terdiam. tak mampu aku menjawab pertanyaan perempuan itu.
Dia menatapku pelan, tajam dan ingin menangis.
"Aku semakin tak mengerti, cinta yang dikonsepkan Tuhan itu seperti apa?"
Aku memeluk perempuan itu dan aku berbisik.
"Bila apa yang kau sebut cinta itu tidak membuatmu menyesal, yakinlah dia juga memiliki rasa yang sama sepertimu."
Tidak ada komentar:
Posting Komentar