Kembali aku menulis tentangmu dengan luka tersayat oleh lidahmu.
Masih kurasakan hangat ciuman kita saat kaki ini melangkah
turun dari tangga tepat diujung lorong kamar kostmu dengan segenap emosi yang
meluap karena acuhmu.
Tanganku terasa berat dan tak mampu untuk merebut HP yang kau genggam
dengan tawa candamu bersama seseorang bangsat di ujung telepon, di depan
kekasihmu, aku.
Tawamu bersama bajingan murahan itu masih memutar diatas kepalaku.
Sakit, hanya itu yang aku rasakan bercampur dengan amarah yang hampir tak
terasa terdesak dengan rasa lain.
Apakah hanya balas dendam yang ada di otakmu?? Membalas sedikit
kebohonganku yang bukan tanpa alasan.
Berkali kali kau katakan untuk mengakhiri hubungan kita namun aku hanya
terdiam dan memohon padamu.
Aku hampir tak mengetahui bagaimana hatimu sebenarnya.
Kamu mengatakan bahwa kamu
mencintaiku, kamu selalu merindukanku, tapi kenyataannya seperti kamu menunggu
aku membuat kesalahan dan lari sejauh jauhnya dariku.
“ Apakah kamu sayaang padaku??”, tanyaku.
“ Pertanyaan bodoh.” Katamu.
“ Aku serius, apakah kamu sayaang??”, tanyaku lagi.
“ Dengan semua apa yang aku lakukan, apa kurang cukup bukti bahwa aku
sayaang padamu??”, jawabmu sedikit kesal.
“ Aku percaya, maukah kau jadi kekasihku??”, tanyaku sambil menyeret
gelas ice cream, satu satunya kamu pesan. “ Jawab pertanyaanku dan aku akan
mengembalikan ice cream milikmu.”
“ Iya.” Jawabmu.
“ Apa??”, tanyaku meyakinkan.
“ Perlu aku ulang lagi?? Iyaa aku mauu jadi pacarmu.”, tegasmu.
Tiba-tiba percakapan itu muncul kembali dalam memori otakku.
Aku ingin kembali ke masa dimana kamu masih memanggilku sayaang, saat
bibirmu berkata kamu mencintaiku dan saat kita masih bisa duduk berdua tanpa
jarak.
Tak ada lagi memanggilku sayaang, tak ada lagi mengucapkan selamat pagi untukmu, tak ada lagi pesan yang selalu kutunggu darimu, tak ada lagi dirimu.
Mengapa semua berjalan begitu cepat Tuhan??
Aku merasa baru kemarin bertemu dengannya, menjadi kekasihnya.
Aku telah dibuang, begitu lebih tepatnya. Kamu membuangku dari semua
ingatan, kenangan dan serpihan hatimu.
Aku dengan bodoh tetap menunggumu, memperhatikanmu.
Aku rela menghilang dari rumah untuk memperhatikanmu dari kejauhan,
memelukmu dari setiap mimpi malamku.
Aku melihat kamu berjalan menuju masa depanmu.
Raut wajahmu, tanpaku, begitu bahagia.
Aku akan belajar, belajar tanpamu yang entah kapan aku bisa membuangmu
seperti kamu membuangku.
Mimpi mimpi yang kita rencanakan telah larut hancur bagai debu.
Ingatkah janjiku untuk menikah denganmu dan membeli sebuah
rumah hanya untuk kita, aku dan kamu.
Kamu tetap yang terindah bagiku.
Aku, hanya sampah bodoh, lebih pantas disebut pecundang yang telah
berkali kali disakiti namun tetap saja percaya.
Bukan, aku bukannya bodoh, aku hanya terlalu mudah membuka hati, dan
mudah jatuh hati.
Aku hanya mampu berdoa dengan semua luka ini, berikan yang terbaik untuk
para bajingan yang telah menyakiti hatiku.
Dengan meminum semua obat obat tak berguna ini aku hanya bisa menunggu
kapan Tuhan akan memelukku, obat yang hanya meredam sakitku tidak menghentikan.
Aku berharap padamu, inginku menutup mata dengan masih mencintaimu. :)
Inginku memandang wajahmu, kedua matamu dan meminta maaf padamu.
Keraguan membuatku enggan mendekatimu, seperti ribuan besi mengelilingimu
melindungi hidupmu dariku.
Tuhan, dua bulan yang lalu kutemukan sebelah sayapku, kini sebelah sayapku lepas dan mencari
pasangan sayap yang lain.
Aku tak mampu terbang lagi, aku tak mampu bernyanyi lagi, duniaku meredup
kehilangan sinar karena matahari tak lagi membantu bulan bercahaya.
Cukup, aku telah cukup bahagia dengan gelapnya duniaku.
Semua luka dan darah ini, aku rasa cukup. :)

Tidak ada komentar:
Posting Komentar