Kamis, 11 Oktober 2012

Hujan


Aku mendongak menanti fajar, 
Entah, mentari perlahan enggan menyinari bumi,
Gumpalan kapas gelap beriring menghadang secercah sinar hangat,
Hanya abu abu dilangit,
Tak ada biru, putih, seperti biasanya,
Tak ada nyanyian riuh burung burung pagi hari,
Hanya tetes tetes embun yang perlahan cair dan hilang,
Dan dingin mencekam,
Berpasang pasang kilat saling menampar,
Perih kurasa,
Aku lelah mendongak,
Aku benci suasana ini,
Sejenak aku terdiam,
Merunduk, mendongakkan telapak tangan,
Ribuan titik titik air turun dengan riang membasahi bumiku,
Dingin, senyap, aroma khas tanah basah mulai meracuni darahku,
Seketika aku merasa jantungku ingin berhenti berdetak,
Otakku berputar terbalik membuka kenangan sampah yang berusaha aku sembunyikan,
Riang air yang turun membuatku tercekat, tak mampu mengelak,
Semuanya berkumpul di ujung tenggorokan dan hanya air dari pelupuk mataku yang mampu berkata,
Titik titik biadab itu membasahi wajahku,
Senyummu, tuturmu, sapamu, riangmu, marahmu, aku merindunya,
Ah, aku kira itu semua hanya semu,
Fatamorgana tentangmu menelusup di depan pandanganku,
Sedikit demi sedikit terhapus, melebur bersama aliran air hujan menuju ujung cakrawala,
Dan sisanya akan menguap hilang,
Kenangan singkat tentangmu kini hanya tinggal ukiran kusam disalah satu ruang hatiku,
Aku hanya membukanya sesekali, atau terbuka karena hujan sialan itu,
Berusaha melupakanmu, menghapus rasa rasa ini,
Bagai membiarkan cairan anestesi menembus nadiku yang akan melumpuh sementara,

Ketika tiba waktunya aku tersadar semua telah berubah,
Aku lemah, tak mampu memegangmu erat,
Aku pengecut, sembunyikan rasaku tanpa menguburnya,
Aku bodoh, membiarkanmu hilang dari pandanganku,
Aku hanya ingin kembali sebelum mengenalmu,
Tapi langkah matahari tak bisa mundur,
Jalan air tak bisa naik,
Hanya Dia yang memiliki alam ini yang mampu merubahnya,
Aku hanya butiran kecil dari bagiannya,
Berlutut menghadapnya memohon dirimu,
Dia hanya diam dan menjawabnya sebentar,
Suatu ketika akan Ia singkirkan pasukan gelap itu,
Kembalikan biru putih angkasa,
Aku, hanya akan menunggu, kapan jutaan butiran air bangsat ini berhenti,
Butiran air yang selalu membuka kenangan kenangan dirimu,

Aku membuangnya, dan ia hanya menguap lalu kembali menjadi ingatan,
Layaknya air yang mengalir pergi, menguap dan akan kembali lagi,

Selamanya aku membencimu “HUJAN”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar