Puasa hari
ke 9 katanya.
Seharian
dari selesei sahur lanjut sholat subuh aku tidur layaknya pingsan.
Terbangun
mendengar suara adzan Dzuhur.
Tersentak
langsung terbangun.
Sore hari
menjelang berbuka puasa, pesan dari temanku masuk.
Aku langsung
bersiap menuju ke peluncuran blog di salah satu perguruan tinggi Islam di
Yogyakarta. Sepulang berbuka dan melepas canda tawa, kurebahkan badanku dan
mulai menyalakan laptop seperti biasa.
Tak tahu
ingin melakukan apa, mulai kubuka folder-folder entah apa.
Hingga aku
membuka folder bersama keluargaku, dulu.
Tak terasa
sudah lama sekali tak menghabiskan waktu bersama mereka.
Aku
merindukan mereka.
Lalu
pikiranku melayang, aku berfikir waktuku kini sudah bukan lagi milik mereka,
aku sudah kehabisan waktu untuk mereka.
Lalu
terfikir akan tawa mereka yang telah diambil oleh cucu semata wayangnya kini.
Aku seperti
bukan lagi harta mereka, mata mereka sudah berbeda.
Tapi kulihat
pula seperti ada sesuatu lain. Kupikir itu seperti pikiran dalam yang belum
bisa kupahami.
Mungkin, aku
sedikit bisa merasakan masalahnya.
Tapi itu
mungkin.
Sebuah
kekecewaan dalam, yang entah siapa yang salah.
Sesuatu yang
sedikit membuatku murka, tidak, besar sekali.
Aku marah,
dengan seorang anggota keluarga baru.
Kusebut dia,
kakak ipar.
Ah,
mengingatnya membuatku sakit, sumpah sakit.
Doaku, doa
mereka, semoga jodohku tak seperti dia.
Seorang
lelaki yang tak tahu diri, seorang lelaki yang tak tahu bagaimana bertanggung
jawab.
Tak tahu
bagaimana kuungkap rasa kecewaku.
Aku yang tak
berhubungan secara langsung bisa semarah ini.
Apalagi
ayahku, ibuku?
Terlebih
ayahku.
Beliau
dengan berat untuk melepas anak perempuan pertamanya.
Beliau yang
berharap banyak padanya.
Beliau yang
masih memikirkan kelangsungan hidup anak perempuannya yang telah dilepasnya.
Demi Tuhan
aku tak terima,
Demi Tuhan,
boleh aku marah, sekali saja.
Aku tak tega
melihat ayahku begitu kecewa,
Rambutnya
yang telah seluruhnya memutih.
Bukan
waktunya lagi beliau merasa sakit.
Lelaki jenis
apa yang tak pernah berfikir untuk mencari nafkah?
Lelaki macam
apa yang tak pernah memberi nafkah istrinya, malah sebaliknya?
Lelaki macam
apa yang tak punya tanggung jawab sama sekali?
BANGSAT!!
Memang tak ada hubungannya denganku,
Memang tak ada hubungannya denganku,
Tapi membuat
ayahku, ibuku kecewa, aku tak bisa tinggal diam.
Aku tak bisa
menyalahkan siapapun, itu lelaki pilihan kakakku.
Tapi bisakah
kau sedikit saja tak seperti anak kecil??
Kau sudah
memiliki anak, kau lihat?
Tak berfikirkah
jika anakmu akan terus tumbuh dan nantinya membutuhkan contoh.
Tak kau
fikirkah, istrimu butuh nafkah, anakmu butuh biaya?
Pantaskah
kau habiskan materi kakakku dengan tanpa usaha?
Tak bisakah
kau bertanggung jawaab dengan apa yang diberikan ayahku padamu?
Sebenarnya
bisakah kau berfikir?
Ayahku bukan
bank, yang seenaknya kau keruk tanpa usaha.
Hingga
ayahku menawarkan untuk mengurus sawah keluarga, kau bilang sanggup, tapi kau
tak ada tanggung jawab untuk mengerjakannya.
Ah, Bangsat.
Kau
main-main dengan kepercayaan ayahku.
Kau tahu
puncak amarahku kapan?
Terakhir aku
pulang disela libur uas, bertepatan dengan jatuhnya puasa pertama.
Ibuku bahkan
mengutamakan masak makanan kesukaanmu semua.
Hingga dia
lupa bahwa aku tak suka.
Dan kau
njing, 15 menit sebelum buka puasa kau pulang kerumah orang tuamu, tanpa pamit.
Kau tahu aku
tak makan di buka puasa hari pertama.
Asulah.
Setelah tahu
aku dirumah, kau tak kembali hingga 3 hari berlalu.
Anjing.
Dulu, rumah
itu adalah tempat aku pulang, apapun yang terjadi.
Sekarang,
rumah itu berbeda.
Bukan lagi
sarang yang aku harus pulang.
Rumah itu
kini seperti saksi bisu akan tangis ayahku, tangis ibuku dan kebisuan rasa yang
belum terungkap.
Aku tahu,
ayahku tak sekuat apa yang terlihat.
Beliau
paling lembut hatinya dibalik kerasnya wataknya.
Ibuku
apalagi.
Sudah
terlalu capek dengan kegiatannya sebagai istri dan sebagai ibu 3 anak, masih
saja kau seenaknya.
Andai aku
bisa, aku bahkan tak tahu apa yang harus kulakukan.
Mencoba
pura-pura tak tahu tapi sakit.
Maaf, tapi aku KECEWA.
Yogyakarta, 26 Juni 2015
Tidak ada komentar:
Posting Komentar