Senin, 29 Juni 2015

Disappointed!!

Puasa hari ke 9 katanya.
Seharian dari selesei sahur lanjut sholat subuh aku tidur layaknya pingsan.
Terbangun mendengar suara adzan Dzuhur.
Tersentak langsung terbangun.
Sore hari menjelang berbuka puasa, pesan dari temanku masuk.
Aku langsung bersiap menuju ke peluncuran blog di salah satu perguruan tinggi Islam di Yogyakarta. Sepulang berbuka dan melepas canda tawa, kurebahkan badanku dan mulai menyalakan laptop seperti biasa.
Tak tahu ingin melakukan apa, mulai kubuka folder-folder entah apa.
Hingga aku membuka folder bersama keluargaku, dulu.
Tak terasa sudah lama sekali tak menghabiskan waktu bersama mereka.
Aku merindukan mereka.
Lalu pikiranku melayang, aku berfikir waktuku kini sudah bukan lagi milik mereka, aku sudah kehabisan waktu untuk mereka.
Lalu terfikir akan tawa mereka yang telah diambil oleh cucu semata wayangnya kini.
Aku seperti bukan lagi harta mereka, mata mereka sudah berbeda.
Tapi kulihat pula seperti ada sesuatu lain. Kupikir itu seperti pikiran dalam yang belum bisa kupahami.
Mungkin, aku sedikit bisa merasakan masalahnya.
Tapi itu mungkin.
Sebuah kekecewaan dalam, yang entah siapa yang salah.
Sesuatu yang sedikit membuatku murka, tidak, besar sekali.
Aku marah, dengan seorang anggota keluarga baru.
Kusebut dia, kakak ipar.
Ah, mengingatnya membuatku sakit, sumpah sakit.
Doaku, doa mereka, semoga jodohku tak seperti dia.
Seorang lelaki yang tak tahu diri, seorang lelaki yang tak tahu bagaimana bertanggung jawab.
Tak tahu bagaimana kuungkap rasa kecewaku.
Aku yang tak berhubungan secara langsung bisa semarah ini.
Apalagi ayahku, ibuku?
Terlebih ayahku.
Beliau dengan berat untuk melepas anak perempuan pertamanya.
Beliau yang berharap banyak padanya.
Beliau yang masih memikirkan kelangsungan hidup anak perempuannya yang telah dilepasnya.
Demi Tuhan aku tak terima,
Demi Tuhan, boleh aku marah, sekali saja.
Aku tak tega melihat ayahku begitu kecewa,
Rambutnya yang telah seluruhnya memutih.
Bukan waktunya lagi beliau merasa sakit.
Lelaki jenis apa yang tak pernah berfikir untuk mencari nafkah?
Lelaki macam apa yang tak pernah memberi nafkah istrinya, malah sebaliknya?
Lelaki macam apa yang tak punya tanggung jawab sama sekali?
BANGSAT!!
Memang tak ada hubungannya denganku,
Tapi membuat ayahku, ibuku kecewa, aku tak bisa tinggal diam.
Aku tak bisa menyalahkan siapapun, itu lelaki pilihan kakakku.
Tapi bisakah kau sedikit saja tak seperti anak kecil??
Kau sudah memiliki anak, kau lihat?
Tak berfikirkah jika anakmu akan terus tumbuh dan nantinya membutuhkan contoh.
Tak kau fikirkah, istrimu butuh nafkah, anakmu butuh biaya?
Pantaskah kau habiskan materi kakakku dengan tanpa usaha?
Tak bisakah kau bertanggung jawaab dengan apa yang diberikan ayahku padamu?
Sebenarnya bisakah kau berfikir?
Ayahku bukan bank, yang seenaknya kau keruk tanpa usaha.
Hingga ayahku menawarkan untuk mengurus sawah keluarga, kau bilang sanggup, tapi kau tak ada tanggung jawab untuk mengerjakannya.
Ah, Bangsat.
Kau main-main dengan kepercayaan ayahku.
Kau tahu puncak amarahku kapan?
Terakhir aku pulang disela libur uas, bertepatan dengan jatuhnya puasa pertama.
Ibuku bahkan mengutamakan masak makanan kesukaanmu semua.
Hingga dia lupa bahwa aku tak suka.
Dan kau njing, 15 menit sebelum buka puasa kau pulang kerumah orang tuamu, tanpa pamit.
Kau tahu aku tak makan di buka puasa hari pertama.
Asulah.
Setelah tahu aku dirumah, kau tak kembali hingga 3 hari berlalu.
Anjing.

Dulu, rumah itu adalah tempat aku pulang, apapun yang terjadi.
Sekarang, rumah itu berbeda.
Bukan lagi sarang yang aku harus pulang.
Rumah itu kini seperti saksi bisu akan tangis ayahku, tangis ibuku dan kebisuan rasa yang belum terungkap.
Aku tahu, ayahku tak sekuat apa yang terlihat.
Beliau paling lembut hatinya dibalik kerasnya wataknya.
Ibuku apalagi.
Sudah terlalu capek dengan kegiatannya sebagai istri dan sebagai ibu 3 anak, masih saja kau seenaknya.
Andai aku bisa, aku bahkan tak tahu apa yang harus kulakukan.
Mencoba pura-pura tak tahu tapi sakit.

Maaf, tapi aku KECEWA.


Yogyakarta, 26 Juni 2015


Kamis, 04 Juni 2015

Cinta Terakhir

Aku lelah.
Jujur aku lelah sekali.
Menemukan, mengenal, memulai lagi, terhalang lagi dan berakhir lagi.
Aku hampir tak bisa lagi merasa degup jantungku berdebar.
Aku tak bisa lagi benar-benar dalam mencinta.
Tuhan tolong, aku menyerah.

Aku bahkan tak bisa mengenalnya, atau memang aku belum mengenalnya.
Rasa apa yang ada di dalam sini?
Aku seperti terbius katanya.
Aku seperti tersihir oleh ucapnya.

Siapa dia?

Setelah luka yang dia yang lain tinggalkan, dia muncul.
Mengucap, "aku merindukan genggaman tanganmu".
Aku tak menganggapnya.
Lalu kudengar dia mulai bercerita tentang masa lalunya, aku tak mengerti.
Sengaja, aku belum peduli.
Lalu kembali dia berbisik, "aku sayang kamu".
Tapi aku bisa apa, dia bahkan masih milik seseorang.
Aku masih tetap menginjak rem ku agar tidak termakan kata-katanya.
Waktu berlalu hingga kedekatanku menjauh, aku dekat dengan seseorang.
Kudengar dia cemburu, marah.
Dia mulai tak menyapaku.
Tak apa aku masih bisa mengendalikan perasaanku bahwa diapun masih dengan orang lain.
Kembali mendekat, entah apa yang ada dipikiranku, kacau.

"Aku berhasil memutuskannya", ucapnya.
Aku seperti sesuatu yang mulai pandai menghancurkan sesuatu.
Tapi juga rasa bebas karena terlepasnya dia darinya.
Entah memang aku sudah terlanjur mahir mengendalikan hatiku, saat itu datang aku tak merasa bahwa itu kemenangan atau apapun.
Rasa yang dulu sempat ingin memilikinya sudah tak lagi ada.
Dia mulai mendekat kembali, seperti tak pernah ada sesuatu yang terjadi.
Entah apa yang didalam otaknya.
Manis mulutnya, dan semua tindakannya membuat segalanya menjadi samar.
Aku bahkan dengan bodohnya seperti robotnya.
Apa ini yang dinamakan bodoh, atau aku sudah terlanjur tak bisa mengendalikan rasaku.
Bagian terburuknya adalah, aku mulai bisa berharap.
Oh itu buruuk sekali.
Aku semakin takut lebih mendekat.
Karena bukan aku saja yang diperlakukan seperti ini.
Ya, ada orang lain, yang lebih penting di hidupnya.
Orang di masa lalunya yang masih tertempel erat dalam hatinya.
Ah, ketika membicarakannya seperti menelan cuka, asam.
Bahkan aku berfikir, aku hanyalah di posisi apalah-apalah-zone.

Semua berawal dari sini,
Semua jenis kehilanganku berakhir disini.
Yang awalnya hilang oleh seseorang itu, hingga kembali lagi, lalu hilang seutuhnya saat ini.
Hilang sudah kepercayaanku pada siapapun.
Hilang pula harapan-harapanku pada siapapun.
Hilang sudah rasaku untuk siapapun.
Aku takut.
Aku ketakutan oleh semua kekecewaan.
Dan akhirnya tak bisa kurasa lagi, semuanya.
Tak kukenali lagi hati yang berada disini.
Tak pernah lagi berdetak kencang untuk seseorang.
Maafkan aku, aku tak bisa lagi berjuang.
Aku menyerah Tuhan.
Pasrah akan takdirmu, aku menyerah berjuang untuk hati.
Tapi aku pasti berjuang untuk hidup.
Aku lelah.
Menerima segalanya yang datang dan pergi seenaknya.

Bila rusuk yang kubawa ini milik seseorang yang masih disini, pertemukan aku dengan jalan terbaikMu.
Bila dia sudah Kau peluk dengan kasihMu, maka tetap peluklah dia hingga kita bertemu kelak.
Sudah cukup hancur untuk ditempa lagi oleh orang yang hanya mampir.
Sudah cukup aku lelah mendengar bualan yang tak terbukti.
Sudah cukup.

Dengan segala sisa-sisa sabar, aku menunggu cinta terakhir ku, yang mungkin akan datang karenaMu, atau datang karena keterpaksaan.

"Setidaknya dia seperti ayahku."

Yogyakarta, 8 Juni 2015.