Malam
itu, aku dan teman-teman "spesial" ku sejenak melepaskan penat
perkotaan, menuju ke sebuah pantai di daerah Wonosari.
Pantai
Krakal, pertama kali menginjaknya pukul 8 malam hari itu.
Deburan
ombak menyambut langkah kami mencari tempat untuk bermalam.
Dengan
beralaskan jas hujan yang di gelar dibibir pantai, kami berkumpul, bercanda,
tertawa dan menyanyikan beberapa lagu diiringi gitar klasik.
Syahdu.
Sudah
lama tak bercinta dengan angin malam pantai.
Aku
menyukai, berkumpul dengan orang-orang yang menjadi dirinya, bukan bersandiwara
seperti yang lain.
Baik
dimuka, busuk di belakang.
Entahlah,
teman-teman spesialku ini mungkin dipandang sebelah mata oleh dunia, tapi
bagiku mereka sama dengan manusia normal lainnya.
Mereka
hanya lain karena mencintai sesama nya.
Sebagian
dari mereka merasa kelelahan setelah perjalanan panjang menuju pantai, akhirnya
tinggal aku dan Mawar temanku terjaga.
Aku
dengan posisi duduk mendongak menatap luasnya langit dengan jutaan bintang
bertebaran disana. Cantik sekali.
Mawar
tidur di pangkuanku dan mulai membuka percakapan setelah sekian menit kita
terdiam.
"Aku
nggak ngerti sama dunia ini."
Aku
terdiam.
"Kadang
juga aku berpikir dunia itu nggak adil." Mawar melanjutkan.
"Aku
sadar hidup yang kujalani itu salah."
"Lalu?"
"Siapa
sih orang yang mau hidupnya salah seperti aku ini? Gak ada, aku kadang merasa
aku spesial, tapi kadang juga aku membantah itu semua."
"Iyaa,
nggak ada orang yang mau." Jawabku seadanya.
"Entah
yaa, aku nggak ngerti kenapa orang-orang yang sok benar itu suka menjudge yang
menjatuhkan. Khan aku juga nggak minta dilahirkan dengan perasaan yang seperti
ini. Aku juga nggak habis pikir sama orang yang larinya ke dunia ini cuman buat
pelampiasan."
Aku
terdiam, menyimak apa yang Mawar katakan.
"Di
logika aja yaa, aku yang dari kecil sudah tertarik sama perempuan rasanya iri
sama mereka yang bisa mencintai laki-laki, kenapa mereka mau terjun ke dunia
yang salah banget ini. Aku kadang nanya sama diriku sendiri, salah siapa kita
ini punya rasa yang nggak bener? Setahuku orang-orang spesial disekitarku itu
juga punya keluarga yang baik-baik, harmonis, nggak ada masalah apa-apa, tapi
mereka punya naluri yang bengkok."
"Mungkin,
kecintaan kita ke Tuhan kurang deh.", jawabku.
"Mungkin,
aku juga udah banyak yang bilang kalo ini semua cobaan dari Tuhan. Tapi untuk
seberat ini dan menyangkut perasaan, aku nggak bisa. Tuhan ngasih rasa, dan aku
hanya manjalankan rasa yang diberi Tuhan untukku. Dan mungkin ketika takdirku
harus bersama laki-laki, itu hanya sekedar formalitas saja."
Mawar
menggeser posisinya, duduk memeluk kakinya di sebelahku. Pikiranku mulai
melayang, tak ada yang bisa kubantah, ataupun kujawab pertanyaan Mawar.
"Lalu,
kamu nggak mau belajar untuk merubahnya?", aku bertanya.
"Euhmm,
entahlah." Mawar terdiam.
"Dicoba
saja dulu, bukannya rasa akan ada bila terbiasa?"
"Iya
siih, tapi kamu tahu, rasaku sudah terlalu dalam, aku sudah terlalu tenggelam.
Dan untuk belajar menjadi normal butuh waktu yang panjang. Lagipula, ada
sesuatu yang membuatku belom bisa lepas dari dunia ini."
Deburan ombak besar menyadarkan imajinasiku yang seolah memikirkan solusi.
"Memang apa yang membuatmu belum bisa lepas dari dia?", tanyaku semakin penasaran.
"Kamu nggak perlu tanya, kamu tahu jawabannya."
"Keadaan?".
"Yah sebagian memang itu, keadaan yang takkan bisa memisahkan, sekelas, sekelompok, satu group, dan parahnya serumah."
"Jujur saja Mawar, saat ini aku benar-benar tidak bisa dan tidak tahu harus berkata apa. Aku nggak pernah sampai memposisikan aku didalam posisimu saat ini.", jawabku sambil mendongak menatap bintang.
"Kamu beruntung. Rasanya aku ingin terlahir kembali dan memilih menjadi normal.", jawabnya dengan mulai berkaca-kaca.
Aku mulai tak tega melihatnya, sosok yang biasanya paling cerewet, paling ceria kini kulihat sisi lainnya yang begitu tertekan oleh keadaan. Raut wajahnya benar-benar tak seperti yang biasanya terpasang di depan orang lain. Sungguh topeng yang luar biasa.
"Sudahlah, masalah ini timbul dari dalam diriku, jawabannya juga ada padaku, aku tahu jalan keluarnya, tapi ini permasalahan dari dua pihak, aku tak bisa memotongnya sendiri. Bukannya kau tahu rasanya terpotong oleh orang itu? Sakit bukan? Dan aku nggak mau orang yang sudah tenggelam dalam sini (hati) terluka. Yah, walau ujungnya memang harus terluka, tapi setidaknya bukan sekarang.", tutur Mawar.
"Aku percaya, rencana Tuhan itu jauuuuuh lebih indah, mungkin sekarang ini kamu lagi dalam masa ujian. Aku percaya juga, kamu akan bisa keluar dari semua masalah ini. Saranku sih yaa dekatkan dirimu dengan Yang Menciptakanmu dan tanyakan semuanya pada Dia."
Tak ada jawaban dari Mawar, ia membetulkan posisinya bersiap untuk tidur.
Aku juga tak bertanya lagi, sudah cukup melihat tekanannya aku membiarkan dia melayang dalam mimpinya.
Jam menunjukkan pukul 3 pagi, angin dingin mulai memaksa kami berselimut seadanya.
Hening, beberapa menit kemudian kita semua terlelap.
Hingga pukul 4.40 pagi ombak meninggi dan mengenai kaki kita.
Aku terbangun dan membuyarkan kemah sederhana kita, menyelamatkan barang-barang bawaan dan berlarian dengan setengah sadar.
Mentari perlahan naik, kuning seperti senja tapi membawa hangat untuk dunia.
Krakal pagi itu benar-benar indah.
Kami bermain sejenak dengan pasir, ombak, embun dan sinar mentari pagi.
Dan sepertinya aku dan Mawar telah melupakan cerita dini tadi.
Wajahnya sudah kembali seperti biasa, seperti Mawar yang kukenal.
Pukul 9.00 kami pulang kembali ke aktivitas masing-masing di Yogyakarta.
Dalam hati aku berbicara di perjalanan pulang, "Aku bersyukur Tuhan, satu lagi aku bertemu dengan ciptaanMu yang begitu suci, mendapatkan pelajaran yang membuatku semakin percaya akan kebesaranMu. Bahwa dunia ini tak bisa hanya dilihat dari satu sisi saja, melainkan dari berbagai arah."
Tidak ada komentar:
Posting Komentar