Selasa, 11 Agustus 2015

Fall in Love

Jatuh cinta itu, dimana semua terlihat samar, yang jelas semua menjadi gila.
Jatuh cinta itu membutakan.

Kadang apa yang terlihat dari dirinya hanya sisi baiknya.

Akhirnya timbul istilah "percuma memberi saran apapun kepada seseorang yang jatuh cinta."

Kasmaran orang bilang.

Yah aku bilang juga begitu.

Seseorang yang terkena sindrom kasmaran ini kadang suka bego.

Dan hampir mirip sama orang sakit jiwa gejalanya.

Gak munafik sih, emang jatuh cinta itu rasanya kaya narkoba kok, bikin nagih bikin fly, bikin gabisa lepas.

Dipagerin kaya apapun hatinya kalo udah kepegang sama yang namanya cinta juga lumer.

Entah jarak, entah keadaan, entah masalah apapun hanya akan menjadi entahlah.

Mau gak jelas, mau ini mau itu rasanya yah bahagia aja.

Yaa akhirnya aku jatuh cinta, benar-benar jatuh sampe tenggelam.

Aku gatau, kenapa bisa.

Yang dari awal gamau yang namanya ldr, anti ldr, entah aku jatuh cinta dengan seseorang yang terpisah jarak.

Aku yang sudah gamau lagi sama "anak kecil", ini malah jatuh sama bocah.

Ah aku gatau, apa maunya hati.

Kenapa harus jatuh di dia.

Dibilang gila, iya aku gila.

Tergila-gila malah.

Bego?

Entahlah, semua orang pasti akan bego banget pas lagi jatuh cinta.

Nah masalahnya saat ini yah embohlah yaa ada aja masalahnya, tapi mungkin masih buta aja.

Kata temenku sih, sekarang ini, gausah dulu lah dipikir, kalo emang suka jalani, kalo memang nanti di jalan harus pisah yaudah, come on, people just come and go, harus terbiasa sama siklus itu.

Terus aku mikir, bener juga sih, siklusnya emang bakal kaya gitu terus sampe ujung waktu.

Even our parent, they just had given from God to us, then they'll go.

Masalah masa lalu, semua orang punya masa lalu.

Yang harusnya aku terima memang dia dengan segala masa lalu nya, dan begimana membuat masa depannya lebih baik.

Mungkin ini salah satu alasan Tuhan, mendewasakanku dan mendewasakannya.

Sakit memang nyatanya, tapi yaudah sih ya.

Nikmati selagi masih bisa merasa cinta,
Suatu ketika nanti terkadang kenyataan tidak bisa memihak cinta, yang ada hanyalah logika duniawi, yaitu yang dinamakan "keadaan".

Ya kalo keadaannya tidak memungkinkan, ya cinta kalah.

So, gausah ditahan bila jatuh cinta, rasakan saja, nikmati saja rasanya mengalir.

Tapi jangan lupa tentang kemungkinan luka akibat jatuh.

Dan nikmati, setiap rasa yang mengalir.

Untuk kamu 7+8=15, I love you.
Biar saja mengalir, sampai keadaan menghancurkan.

Sidoarjo, 11 Agustus 2015

Senin, 29 Juni 2015

Disappointed!!

Puasa hari ke 9 katanya.
Seharian dari selesei sahur lanjut sholat subuh aku tidur layaknya pingsan.
Terbangun mendengar suara adzan Dzuhur.
Tersentak langsung terbangun.
Sore hari menjelang berbuka puasa, pesan dari temanku masuk.
Aku langsung bersiap menuju ke peluncuran blog di salah satu perguruan tinggi Islam di Yogyakarta. Sepulang berbuka dan melepas canda tawa, kurebahkan badanku dan mulai menyalakan laptop seperti biasa.
Tak tahu ingin melakukan apa, mulai kubuka folder-folder entah apa.
Hingga aku membuka folder bersama keluargaku, dulu.
Tak terasa sudah lama sekali tak menghabiskan waktu bersama mereka.
Aku merindukan mereka.
Lalu pikiranku melayang, aku berfikir waktuku kini sudah bukan lagi milik mereka, aku sudah kehabisan waktu untuk mereka.
Lalu terfikir akan tawa mereka yang telah diambil oleh cucu semata wayangnya kini.
Aku seperti bukan lagi harta mereka, mata mereka sudah berbeda.
Tapi kulihat pula seperti ada sesuatu lain. Kupikir itu seperti pikiran dalam yang belum bisa kupahami.
Mungkin, aku sedikit bisa merasakan masalahnya.
Tapi itu mungkin.
Sebuah kekecewaan dalam, yang entah siapa yang salah.
Sesuatu yang sedikit membuatku murka, tidak, besar sekali.
Aku marah, dengan seorang anggota keluarga baru.
Kusebut dia, kakak ipar.
Ah, mengingatnya membuatku sakit, sumpah sakit.
Doaku, doa mereka, semoga jodohku tak seperti dia.
Seorang lelaki yang tak tahu diri, seorang lelaki yang tak tahu bagaimana bertanggung jawab.
Tak tahu bagaimana kuungkap rasa kecewaku.
Aku yang tak berhubungan secara langsung bisa semarah ini.
Apalagi ayahku, ibuku?
Terlebih ayahku.
Beliau dengan berat untuk melepas anak perempuan pertamanya.
Beliau yang berharap banyak padanya.
Beliau yang masih memikirkan kelangsungan hidup anak perempuannya yang telah dilepasnya.
Demi Tuhan aku tak terima,
Demi Tuhan, boleh aku marah, sekali saja.
Aku tak tega melihat ayahku begitu kecewa,
Rambutnya yang telah seluruhnya memutih.
Bukan waktunya lagi beliau merasa sakit.
Lelaki jenis apa yang tak pernah berfikir untuk mencari nafkah?
Lelaki macam apa yang tak pernah memberi nafkah istrinya, malah sebaliknya?
Lelaki macam apa yang tak punya tanggung jawab sama sekali?
BANGSAT!!
Memang tak ada hubungannya denganku,
Tapi membuat ayahku, ibuku kecewa, aku tak bisa tinggal diam.
Aku tak bisa menyalahkan siapapun, itu lelaki pilihan kakakku.
Tapi bisakah kau sedikit saja tak seperti anak kecil??
Kau sudah memiliki anak, kau lihat?
Tak berfikirkah jika anakmu akan terus tumbuh dan nantinya membutuhkan contoh.
Tak kau fikirkah, istrimu butuh nafkah, anakmu butuh biaya?
Pantaskah kau habiskan materi kakakku dengan tanpa usaha?
Tak bisakah kau bertanggung jawaab dengan apa yang diberikan ayahku padamu?
Sebenarnya bisakah kau berfikir?
Ayahku bukan bank, yang seenaknya kau keruk tanpa usaha.
Hingga ayahku menawarkan untuk mengurus sawah keluarga, kau bilang sanggup, tapi kau tak ada tanggung jawab untuk mengerjakannya.
Ah, Bangsat.
Kau main-main dengan kepercayaan ayahku.
Kau tahu puncak amarahku kapan?
Terakhir aku pulang disela libur uas, bertepatan dengan jatuhnya puasa pertama.
Ibuku bahkan mengutamakan masak makanan kesukaanmu semua.
Hingga dia lupa bahwa aku tak suka.
Dan kau njing, 15 menit sebelum buka puasa kau pulang kerumah orang tuamu, tanpa pamit.
Kau tahu aku tak makan di buka puasa hari pertama.
Asulah.
Setelah tahu aku dirumah, kau tak kembali hingga 3 hari berlalu.
Anjing.

Dulu, rumah itu adalah tempat aku pulang, apapun yang terjadi.
Sekarang, rumah itu berbeda.
Bukan lagi sarang yang aku harus pulang.
Rumah itu kini seperti saksi bisu akan tangis ayahku, tangis ibuku dan kebisuan rasa yang belum terungkap.
Aku tahu, ayahku tak sekuat apa yang terlihat.
Beliau paling lembut hatinya dibalik kerasnya wataknya.
Ibuku apalagi.
Sudah terlalu capek dengan kegiatannya sebagai istri dan sebagai ibu 3 anak, masih saja kau seenaknya.
Andai aku bisa, aku bahkan tak tahu apa yang harus kulakukan.
Mencoba pura-pura tak tahu tapi sakit.

Maaf, tapi aku KECEWA.


Yogyakarta, 26 Juni 2015