Seperti tai ayam yang menempel pada sepatu, mungkin dia tak terasa tapi baunya menyebar.
Seperti itu pula masa lalu burukku terus saja menempel.
Dan semakin aku lari, tai ayam itu semakin menempel serta semakin menyebar lalu kering di telapaknya.
Semakin kesini orang lain juga akan mencium baunya.
Seperti itu pula masa lalu burukku terus saja menempel.
Dan semakin aku lari, tai ayam itu semakin menempel serta semakin menyebar lalu kering di telapaknya.
Semakin kesini orang lain juga akan mencium baunya.
Cerita ini tentang aku dan dunia tai ayam.
Dimana pernah kupijak satu dunia yang begitu memasuki pintunya saja sudah membuatnya tertarik.
Dulu, tainya terlihat seperti ladang coklat yang dihujani ribuan gandum.
Ekspektasi eksperimenku berubah total ketika aku mulai tergoda akan kenikmatannya.
Tak bisa kuhindari, rasaku seperti menemukan jalan, tanyaku telah menemukan jawaban.
Bencana besar pun mengiringi dengan alunan gunjingan dari mulut sampah mereka.
Namanya kaum minoritas akan selalu salah di mata mayoritas.
Tak peduli akan mereka, karena kutahu mereka tak berada pada posisiku.
Rasaku berbeda.
Kadang aku tak mengerti rencana Tuhan yang tak jarang membuat jalanku harus berbelok tajam lalu kembali, berbelok lagii dan begitu seterusnya.
Hingga aku menganggap jalan yang sudah kutempuh itulah yang benar.
Dunia itu pula telah merangkulku lebih dalam, menawarkan surga dengan retakan menuju neraka.
Indah pada ruang pertama, lalu akhirnya tersandung pula pada bara.
Kisah itu sama saja, tak ada beda.
Hingga akhirnya sampai pada titik jera.
Mana benar mana salahpun aku seperti enggan, tak mau lagi.
Dunia telah menghukum perasaanku.
Ketika aku mencoba berjalan meninggalkan si dunia tai ayam ini, seperti yang kubilang baunya masih saja tersisa.
Ya, bau itu yang membuatku hanya ingin kembali dan kembali.
Akhirnya yang dulu kuanggap saudara harus kubuang jauh.
Dari yang dulu setiap kota seperti ada relasi dan sekarang tinggal benar-benar puing yang kusisakan.
Kutinggalkan jalan berbelok dan tetapi aku masih berdiri tak bergeming.
Takut melangkah ke depan, dan ogah tertarik mundur kembali.
Posisiku sekarang seperti butiran dandelion yang terbang pasrah kemana takdir angin menjatuhkannya pada tanah yang disiapkan Tuhan.
Dan aku akan sekuat dandelion yang nantinya akan tumbuh cantik.
Aku akan memiliki semangat dandelion yang yakin bahwa ia tidak akan hilang atau mati sebelum bertemu tanah.
Aku pernah hitam, tapi bukan berarti aku tak bisa abu-abu, yang tak kubisa adalah menjadi putih.
Dimana pernah kupijak satu dunia yang begitu memasuki pintunya saja sudah membuatnya tertarik.
Dulu, tainya terlihat seperti ladang coklat yang dihujani ribuan gandum.
Ekspektasi eksperimenku berubah total ketika aku mulai tergoda akan kenikmatannya.
Tak bisa kuhindari, rasaku seperti menemukan jalan, tanyaku telah menemukan jawaban.
Bencana besar pun mengiringi dengan alunan gunjingan dari mulut sampah mereka.
Namanya kaum minoritas akan selalu salah di mata mayoritas.
Tak peduli akan mereka, karena kutahu mereka tak berada pada posisiku.
Rasaku berbeda.
Kadang aku tak mengerti rencana Tuhan yang tak jarang membuat jalanku harus berbelok tajam lalu kembali, berbelok lagii dan begitu seterusnya.
Hingga aku menganggap jalan yang sudah kutempuh itulah yang benar.
Dunia itu pula telah merangkulku lebih dalam, menawarkan surga dengan retakan menuju neraka.
Indah pada ruang pertama, lalu akhirnya tersandung pula pada bara.
Kisah itu sama saja, tak ada beda.
Hingga akhirnya sampai pada titik jera.
Mana benar mana salahpun aku seperti enggan, tak mau lagi.
Dunia telah menghukum perasaanku.
Ketika aku mencoba berjalan meninggalkan si dunia tai ayam ini, seperti yang kubilang baunya masih saja tersisa.
Ya, bau itu yang membuatku hanya ingin kembali dan kembali.
Akhirnya yang dulu kuanggap saudara harus kubuang jauh.
Dari yang dulu setiap kota seperti ada relasi dan sekarang tinggal benar-benar puing yang kusisakan.
Kutinggalkan jalan berbelok dan tetapi aku masih berdiri tak bergeming.
Takut melangkah ke depan, dan ogah tertarik mundur kembali.
Posisiku sekarang seperti butiran dandelion yang terbang pasrah kemana takdir angin menjatuhkannya pada tanah yang disiapkan Tuhan.
Dan aku akan sekuat dandelion yang nantinya akan tumbuh cantik.
Aku akan memiliki semangat dandelion yang yakin bahwa ia tidak akan hilang atau mati sebelum bertemu tanah.
Aku pernah hitam, tapi bukan berarti aku tak bisa abu-abu, yang tak kubisa adalah menjadi putih.
Mungkin, saat ini aku masih bau tai, tapi hargailah usahaku sudah membuang tai nya, dan walau aku belum bisa mencucinya hingga bersih.
Dan aku harus berterimakasih banyak pada manusia-manusia tai ayam, yang hangatnya masih tersisa, baunya masih kadang tercium dan masih ada pula yang sedikit menempel.
Aku tak bangga akan kenikmatan dunia tai ayam.
Akupun tak pernah menyesal pernah menginjaknya.
Karena aku yakin, aku percaya, Tuhan adalah dalang terbaik kehidupan.
Sebau apapun tai ayam, ia tetap saja memiliki pengaruh besar.
Akupun tak pernah menyesal pernah menginjaknya.
Karena aku yakin, aku percaya, Tuhan adalah dalang terbaik kehidupan.
Sebau apapun tai ayam, ia tetap saja memiliki pengaruh besar.
L, Y, A, R you're my ex chicken's poop
