Sabtu, 13 September 2014

Dewasa

Maturity
Dulu waktu aku mulai mengenal kata pacaran, aku bertanya pada diriku sendiri yang kutulis dalam selembar notes.

"Dewasa itu apa?"

Lalu aku mulai berpikir aku selalu melakukan hal-hal sendiri, yang disebut oleh ayahku itu sebagai "Mandiri".
Aku mungkin berusia 12 tahun waktu itu.
Menginjak setelahnya, aku mengenal yang namanya "Seks dan yang ada dalam cakupannya".
Kupikir dengan mengetahui tentangnya aku telah mengalami tahap dewasa.
Tapi aku masih sering menangis hanya karena "bully" yang terkadang itu hanyalah gurauan teman-temanku.
Dan aku masih sering putus asa untuk berjalan ke depan.
Berkali-kali aku tersandung, aku jatuh dan aku hanya menyalahkan yang lain tanpa aku mengkoreksi diriku sendiri.

Aku pernah menyalahkan Tuhan akan hidupku.
Aku juga pernah menyalahkan orang tuaku yang memahatku sedemikian rupa.
Dan yang lebih parah aku pernah menggugat takdir.

Aku merasa masa-masa itu yang kusesali.
Tanpa tahu bahwa itulah proses.
Tuhan tetap saja memaafkanku.
Menunjukkan kelembutannya dan memelukku untuk menguatkanku.
Lalu tanganku membalas pelukannya.

Beberapa tahun kemudian, aku memasuki dunia baru.
Dunia dimana aku mulai mengenal adanya lawan jenis yang lagi-lagi harus kupelajari.
Sebelumnya aku menganggap sama semuanya.
Hingga dunia itu memberikan batas-batas antara perempuan dan laki-laki.
Ibuku bilang ketika aku mendapatkan menstruasi pertamaku.

"Kamu sudah besar, hati-hati dengan laki-laki."

Beliau mengatakannya tanpa penjelasan untuk apa aku berhati-hati.
Sampai pada akhirnya aku belajar, aku ditunjukkan "mengapa?"
 Perjalananku mencari jawaban mengapa tidaklah mudah, bertemu orang yang salah, teman yang salah dan dunia yang salah.
Tapi Tuhan masih saja melindungi kesucian untuk tetap menjadi harga yang mahal.

Namun dunia itu belum memberiku sebuah "rasa"
Hingga suatu ketika aku bertemu dengan seseorang yang membuatku merasakan "kekaguman"
Lalu ia berkembang lebih besar hingga aku tak mampu membawanya.
Aku jatuh cinta untuk pertama kali.

Memang, rasanya menerbangkan, dan aku mulai takut terlalu tinggi.
Aku hanya terbang beberapa kilometer diatas permukaan, kemudian menyadari akan adanya resiko apabila parasutku tak berkembang dengan baik.
Akhirnya aku hanya menyimpannya hingga bertahun-tahun lamanya.

Berganti hati, ber eksperimen, bertemu dan mengenal orang lain.
Disitulah aku mulai belajar point demi point pesan dari hidup.
Berjuta karakter manusia, egois, ambisius, licik, acuh, tempramental, introvert, ekstrovert, jenius, sok tahu, pendiam, atraktif, humoris, angkuh, gengsi dan yang lainnya.
Satu persatu mulai kupahami.
Tak banyak juga yang mampu bertahan ketika aku dan mereka terbentur ego.
Orang bilang itu dinamakan "Labil".

Ya, aku masih belum memahami makna mengerti.
Aku masih sering emosi ketika terhujat.
Aku masih tak terima bila kalah.

Pukulan demi pukulan datang menyerang rasa, menempa setiap ego yang tak rata.
Sakit, memang sakit rasanya.
Dan hasil yang tercipta sungguh diluar dugaan.

Tapi ini masih belum dikatakan dewasa.
Aku masih suka membohongi diriku sendiri.
Aku masih suka berlarian dikejar masalah.

Hingga seseorang datang.
Memberiku cinta, mengajarkan tentang hidup, membuatku sangat bahagia, memberikan goresan luka dan kemudian hilang.
Aku sudah lupa akan ketakutanku pada ketinggian.
Aku merasakan sakit terhempas dari ribuan kilometer diatas tanah, tanpa parasut.
Aku tak menangis, sekalipun air mataku tak mau keluar.
Mulai aku merangkak, lalu belajar berdiri kemudian berjalan kembali.
Tapi aku masih belum bisa berlari kembali.
Aku pincang dan masih sering memalingkan mukaku kebelakang.
Proses penempaanku berjalan, namun melambat.

Kini aku berada di tingkat masih belum dewasa.
Tapi jiwaku lebih luas, hatiku lebih lapang.
Hanya rasaku yang masih belum mau terbuka.
Rupanya kepercayaan membutuhkan waktu yang lama untuk kembali.
Entah kapan ia terbuka, saat itulah aku siap tertempa kembali untuk meningkatkan level kedewasaan.


"Age is no guarantee of maturity"


Jumat, 12 September 2014

Simple

I just remembered when we playing while a kiss.

I don't know, we're so childish.

Play with our tounge, our breath.

but I love you.

Just simple like I love you.

Well, I wish better for you.

Not even for me.

I think, let you smile, I smile.

Honestly, I have written about you for a thousand times.

Whatever, cause my memory are full of your name and your memories of course.

I missing you.

But, Idk I don't want to see you anymore.

Please let me in.

You win.


Yogyakarta, January 24th 2014